Senin, 25 Februari 2008

Artikel Tentang Ujian Nasional

Masalah ujian nasional (UN) telah menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang panjang. Dan hal ini juga menjadi perbincangan antara saya dan isteri setelah makan malam ulang tahun pernikahan ke-12. Anak kami yang tertua pernah sekolah di Indonesia, tetapi belum sampai tahap mengikuti UN. Namun kami memiliki beberapa keponakan yang sebentar lagi mengikuti UN. Dan ini menjadi pertimbangan kami ketika kami harus pulang ke Indonesia nanti, serta apabila situasi memaksa untuk menyekolahkan anak kami dimana sekolah tersebut harus mengikuti UN.
Mengapa Pemerintah memakai UN sebagai alat seleksi untuk menentukan seorang siswa lulus atau tidak untuk mengikuti jenjang pendidikan berikutnya? Mengapa tidak diaplikasikan juga sebagai alat benchmarking mutu pendidikan yang ada?
Apakah UN menjadi alat seleksi yang handal ketika hanya dilakukan beberapa hari? UN seakan-akan hanya merupakan snapshot dari proses belajar yang panjang dari seorang siswa didik. Apakah ini merupakan keputusan yang adil bagi seorang siswa yang biasanya mendapatkan nilai yang baik, namun karena suatu hal dia tidak dapat mengerjakan UN secara maksimum sehingga dia dinyatakan tidak lulus?
Bisa dibayangkan bagaimana kecewanya dia, dan beban psikologis yang harus dia tanggung setelah itu. Bagi mereka yang berasal dari keluarga yang mampu, biaya sekolah bukan merupakan permasalahan. Tapi bagi saudara kita yang pas-pasan, hal ini akan menjadi beban yang cukup berat. Anak yang diharapkan bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya harus mengulang setahun lagi.
Apakah UN menjadi semacam alasan bagi Pemerintah, karena ketidakmampuan untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang mencukupi? Bisa dibayangkan apabila semua siswa dinyatakan lulus, dan harus menyediakan fasilitas untuk tingkat berikutnya. Fasilitas pendidikan yang ada juga mengikuti pola piramida, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin sedikit tempat yang tersedia. Dan selain itu biaya pendidikan juga semakin mahal.
Seperti pernah ditulis diposting yang lalu, bahwa negara ingin memiliki generasi penerus yang mumpuni. Sehingga intervensi ke proses pendidikan perlu dilakukan. Kita bisa menyadari bahwa tanpa adanya kontrol, tidak akan ada disiplin. Sekarang saja sudah banyak orang yang memalsukan ijasah, dan lolos menduduki posisi-posisi yang penting di negara ini.
Memang ini suatu dilema yang cukup sulit. Kita bisa membuat berbagai sistem sebaik apapun, namun apabila tidak ada disiplin hasilnya tetap tidak sesuai yang diharapkan. Demikian pula dengan ujian nasional yang tidak murah ini. Kebocoran soal UN sering terjadi dimana-mana, karena setiap orang berorientasi pada hasil akhir bukannya proses.
Menurut hemat kami UN bisa dijadikan alat benchmarking mutu pendidikan kita, dipakai sebagai masukan untuk peningkatan mutu pendidikan di tahu berikutnya. Juga sebagai alat seleksi, namun bukan untuk menentukan kelulusan. Hasil UN ini dipergunakan oleh jenjang pendidikan berikutnya untuk menerima siswa tersebut. Apabila sekolah tersebut ingin mengetahui lebih jauh tentang siswa tersebut, maka hasil rapor tiap semester perlu dilampirkan. Dengan demikian semua pihak akan terakomodasi. Pihak orang tua akan terus membimbing anak-anaknya agar hasil rapor dan UN baik, sehingga tidak hanya bergantung pada hasil UN. Dan negara akan mendapatkan generasi penerus yang benar-benar mumpuni dan teruji, karena menjalani proses yang cukup panjang dan tidak hanya diseleksi menurut hasil UN. Ketekunan dan kualitas seorang siswa tidak hanya bisa ditentukan dalam beberapa hari selama UN, namun dari seluruh proses belajar yang mereka ikuti.(google by Sbaskoro)

Tidak ada komentar: